Suatu hari saya terlanggar dengan seseorang yang saya tidak kenal.
"Oh, maafkan saya," reaksi spontan saya.
"Maafkan saya juga," katanya.
Orang itu dan saya bertegur sangat sopan. Kami pun berpisah dan mengucapkan salam. Namun ceritanya menjadi lain apabila sampai di rumah.
Pada hari itu juga ketika saya sedang menelefon salah seorang rakan sekerja terbaik saya, dengan bahasa sangat lembut dan santun untuk meraih/melobi simpati rakan saya itu, tiba-tiba anak lelaki saya berdiri diam-diam di belakang saya. Ketika saya hendak berpusing, hampir saya membuatkannya terjatuh.
"Pergi! Main di sana! Ganggu saja!" teriak saya dengan nada yang sangat marah. Lalu dia pergi dengan hati yang hancur dan merajuk.
Ketika saya berbaring di tempat tidur pada malam itu, dengan halus malaikat berbisik,
"Tuhan menyuruh aku mencabut nyawamu dan mengambil hidupmu sekarang. Namun sebelumnya, Tuhan mengizinkan kau melihat lorong waktu sesudah kematianmu.
Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang kau tidak kenal, etika kesopanan kamu gunakan. Akan tetapi dengan anak sendiri, kau perlakukan dengan kasar. Akanku perlihatkan engkau setelah kematianmu hari ini bagaimana keadaan majikanmu, kawan rapatmu, sahabat dunia mayamu serta keadaan keluargamu,"
Lalu aku pun melihat, hari itu saat jenazahku masih diletakkan di ruang keluarga, hanya seorang sahabat dunia mayaku yang datang. Selebihnya hanya mendoakan di dalam group, bahkan ada juga yang tidak memberikan komen apa-apa di atas pemergianku dan ada juga yang hanya menulis 'Al-fatihah', ada yang 'RIP'.
Kawan sekerja aku datang, sekejap melihat jenazahku lalu mereka mengambil gambar dan bercerita. Bahkan ada yang asyik membicarakan aibku sambil tersenyum-senyum. Bos yang aku hormati hanya datang sebentar melihat jenazahku dalam beberapa minit, kemudian pulang. Kawan-kawan rapatku tiada seorang pun dari mereka yang aku lihat.
Lalu aku melihat anak-anakku menangis di pangkuan ibunya. Yang kecil berusaha menggapai jenazahku meminta aku bangun. Namun isteriku menghalangnya. Isteriku pengsan berkali-kali, tidak pernah aku melihat dia sebingung demikian.
Lalu aku teringat betapa seringkalinya aku acuh tidak acuh dengan panggilannya yang mengajakku berbual. Aku selalu sibuk dengan handphone, dengan kawan-kawan, teman-teman dunia maya. Lalu aku melihat anak-anak yang sering aku herdik dan bentak mereka di saat aku sedang asyik dengan handphone di saat mereka meminta perhatian dariku.
"Oh Tuhan, maafkanlah aku,"
Lalu aku melihat tujuh hari selepas kematianku. Teman-teman sudah melupakan diri aku. Sampai detik ini aku tidak lagi mendengar doa mereka untuk aku. Pihak pejabat juga telah menggantikan aku dengan kakitangan yang lain. Teman-teman dunia maya aku masih sibuk dengan perbualan di group tanpa ada yang berbicara tentang aku ataupun bersedih terhadap ketiadaanku di group mereka.
Namun, isteriku masih pucat dan menangis. Air matanya selalu menitis di saat anak-anakku bertanya, "Mama, mana papa?" .
Dia begitu longlai dan pucat.
"Ke mana semangatmu wahai isteriku?" Oh Tuhan, maafkan aku,"
"Ke mana semangatmu wahai isteriku?" Oh Tuhan, maafkan aku,"
Hari ke 40 semenjak aku tiada, teman-teman Facebook aku lenyap secara drastik. Semuanya sudah memutuskan hubungan dengan aku seolah-olah tidak ingin lagi melihat kenanganku semasa hidup. Majikan dan teman-teman sekerja tidak ada seorang pun yang mengunjungi kubur aku mahupun sekadar mengirimkan doa. Lalu ku lihat keluarga aku yang mana isteri aku sudah mampu tersenyum. Namun tatapannya masih kosong. Anak-anak kecilku masih bertanya bila papa mereka akan pulang. Anakku yang paling kecil adalah yang paling ku sayang, masih selalu menunggu di jendela menanti kepulanganku.
Sudah 15 tahun berlalu, aku melihat isteri aku sudah menyiapkan makanan untuk anak-anak. Sudah mulai kelihatan kedutan tua dan lelah di wajahnya. Dia tidak pernah lupa mengingatkan anak-anak bahawa hari ini hari Jumaat, jangan lupa solat.
Lalu aku membaca tulisan di atas secebis kertas milik anak perempuanku malam semalam. Dia menulis,
"Seandainya aku masih mempunyai papa, pasti tiada lelaki yang berani berkelakuan tidak sopan dengan aku sambil aku tidak melihat mama sakit mencari nafkah seorang diri untuk kami. Oh Tuhan, mengapa kau mengambil papaku? Aku perlukan papaku. Ya Allah...," tulisnya di kertas yang masih basah kerana titisan air matanya.
Ya Allah, maafkanlah aku. Sampai bertahun-tahun anak-anak dan isteriku masih terus mendoakan aku agar sentiasa berbahagia di akhirat sana.
Kemudian aku terbangun.
"Oh Tuhan, syukur aku hanya bermimpi sahaja,"
Perlahan-lahan aku pergi ke bilik tidur anakku dan berlutut di tempat tidurnya. Aku masih melihat air mata di sudut matanya. Kasihan, terlalu keras aku mengherdik mereka.
"Anakku, papa sangat menyesal kerana telah berlaku kasar padamu. Papa sayang sangat padamu. Maafkan aku sayang," kataku sambil memeluk anakku, mencium pipi dan keningnya.
Lalu ku melihat isteri aku yang sedang tidur. Isteriku dengan sapaannya sering ku tidak hiraukan ajakannya untuk berbicara. Seringkali aku berpura-pura tidak mendengarnya. Bahkan pesan-pesan darinya aku seringkali menganggap tidak bermakna.
"Maafkan saya, maafkan saya,"
Air mata aku tidak dapat dibendung lagi, apakah kita menyedari bahawa jika kita mati esok pagi, jabatan di mana kita bekerja akan mudah mencari pengganti kita? Teman-teman yang melupakan kita sebagai cerita yang sudah berakhir, malah ada rakan-rakan kita yang masih menceritakan kelemahan yang tidak sengaja dilakukan. Teman-teman dunia maya juga tidak pernah membicarakan lagi tentang hal kita. Seolah-olah aku tidak pernah wujud di dalam group mereka.